Bismillah...
Inilah bagian keduanya sobat.
Tentang judulnya neh, perlu sobat semua ketahui, yang ini merupakan analisis,
bahwa, e-KTP ini bakal jadi “mata-mata” sang
pemiliknya. Yang berarti juga bisa mengganggu privasi setiap
individu. Meski dalam situs resminya, e-KTP.com, pemerintah menjamin
keamanannya.
“Orang-orang Indonesia yang mengelola teknologi
e-KTP merupakan ahli dan jago di bidangnya,” gitu kata juru bicara
Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek di Jakarta, Senin (7/11)
lalu.
Eits, jangan salah sob, Indonesia itu padahal sistem
IT-nya termasuk ketinggalan loh. Di luar negeri sana sudah jauh lebih
canggih! Alias bukan suatu hil yang mustahal, dengan mudah sistem
e-KTP itu jebol. Inget gak, dulu kasus jebolnya Wikileaks, yang sudah
susah-susah dijaga data RHS-nya, tetep aja jebol dan ambyar
kemana-mana. Pentagon aja, lembaga pertahanan Amerika Serikat yang
konon terkenal canggih luar biasa, bisa jebol oleh hacker. Dan
Indonesia pun sudah merasa aman?
Namun pemerintah punya alasan tambahan untuk
meyakinkan. Kemendagri, sang pemilik proyek, mengklaim e-KTP
Indonesia gak bakal dapat ditembus serta disalahgunakan. Keyakinan
itu mereka wujudkan dengan melibatkan bantuan dari 15 lembaga seperti
BIN, BPPT, ITB, dan Lembaga Sandi Negara.
Terus muncul neh pertanyaan,
bagaimanakah jika penyalahgunaan data e-KTP itu jsutru dilakukan
negara?
Ada lagi isu yang mungkin belum menjadi
concern publik dalam kaitan dengan e-KTP adalah keterlibatan
L-1 Identity Solutions sebagai penyuplai perangkat perekam sidik jari
atau AFIS (Automated Fingerprint Identification System) dalam proyek
e-KTP di Indonesia.
Dugaan adanya kolusi dan korupsi dalam
tender pengadaan e-KTP pernah dilaporkan secara khusus oleh sebuah
media nasional, bahwa pemenang tender sudah dirancang sedari awal.
Sejumlah rapat, yang dihadiri pihak penawar (yang kemudian menjadi
pemenang), sejumlah vendor (termasuk perwakilan L-1), dan pemilik
tender (pemerintah) terjadi jauh sebelum pemenang tender diumumkan.
Nah loh?
Terkait dengan semua itu, ada baiknya kita
bahas L-1 dalam proyek ini, pada postingan yang lain.
Nah terus bahanya nih, ada beberapa
indikasinya :
Pertama,
adanya upaya untuk secara internasional berbagi data biometrik, wa
bil khusus Amerika Serikat, dedengkot
kapitalisme yang sedang “mpot-mpotan” ekonominya.
Salah satu buktinya ada pada kesaksian
di hadapan Subkomite Keamanan Dalam Negeri DPR AS pada 2009, Kathleen
Kraninger (Deputi Asisten Menteri untuk Kebijakan) dan Robert A Mocny
(Direktorat Perlindungan Nasional US-VISIT) menyatakan sebagai
berikut:
“Untuk memastikan bahwa kita mampu
menghancurkan jaringan teroris sebelum mereka sampai ke Amerika
Serikat, kita harus berada di depan dalam mengendalikan standar
biometrik internasional. Dengan mengembangkan sistem yang kompatibel,
kita akan mampu berbagi informasi teroris internasional dengan aman
demi memperkuat pertahanan kita.”
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh
S Magnuson pada 2009 pada majalah “National Defense”,
berjudul “Defense Department Under Pressure to Share Biometric
Data”, pemerintah AS mengklaim telah memiliki kesepakatan
bilateral dengan sekitar 25 negara untuk berbagi data biometrik.
“Setiap kali pemimpin negara lain
mengunjungi Washington dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian
Luar Negeri akan memastikan bahwa mereka menandatangani kesepakatan
(berbagi data biometrik) tersebut.”
Washington tampaknya tak hanya menempuh
cara formal. Seperti pernah diungkap dalam kabel diplomatik AS—yang
dibocorkan Wikileaks—Kementerian Luar Negeri AS menginstruksikan
diplomat AS untuk secara rahasia mengumpulkan identifikasi biometrik
para diplomat negara lain.
FBI tak ketinggalan. Seraya mengklaim
ingin membuat “dunia lebih aman”, FBI mendesak inisiatif berbagi
data biometrik di antara negara-negara. Nah loh?!
Kedua,
lemahnya undang-undang terkait pengamanan database kependudukan,
terutama jika memperhatikan upaya berbagi data dengan negara lain.
UU No : 23 / 2006 tentang Administrasi
Kependudukan sangat minim mengatur isu perlindungan dan keamanan
data. Isu berbagi data dengan negara lain sama sekali tak diatur.
Bahkan, UU tersebut ‘memberi’ celah bagi pemegang kekuasaan untuk
“mengubah”, “meralat”, dan “menghapus” tanpa
sepengetahuan sang pemilik data, warga negara itu sendiri. Ini rentan
bagi upaya manipulasi data demi kepentingan tertentu.
Aturan turunannya lebih buruk lagi. PP
37/2007 membuka peluang bagi siapa pun, termasuk pihak swasta, untuk
memperoleh dan menggunakan database kependudukan dengan syarat yang
ringan: izin menteri. Di sini lagi-lagi, hak konstitusional warga
negara untuk dilindungi privasinya bakal terganggu. Tak ada satu
klausul pun dalam peraturan itu yang mewajibkan adanya pengetahuan si
pemilik data.
Tekanan negara Paman Sam terhadap
Indonesia untuk berbagi data biometrik sangat mungkin terjadi.
Apalagi mantra “perang melawan teroris” masih terlampau sakti
bagi sebagian besar pejabat Indonesia yang tak punya nyali. Terlebih
kata ‘berbagi’ kerap tak berlaku timbali balik, alias sepihak
demi keuntungan negara yang lebih kuat.
Menjual privasi demi keamanan negara
(aman dari teroris, katanya) mungkin bisa dianggap sikap patriotis
seorang warga negara. Namun, seperti dikatakan salah seorang
“founding father” AS, Benjamin Franklin:
“People willing to trade their
freedom for temporary security deserve neither and will lose both”
(orang ingin menjual kebebasannya dengan keamanan yang sementara
justru tidak akan mendapatkan semua dan kehilangan keduanya).
Itulah sobat, bahayanya. Sebenarnya masih
ada lagi latar belakang pembuatan e-KTP ini yang cukup menarik
termasuk kaitannya dengan program Yahudi untuk menguasai dunia. Insya
Allah akan saya posting juga di lain kesempatan.
Wallahu a'lam bishawab
Sumber : voi-islam,e-ktp.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar