Jumat, 11 November 2011

E-KTP : Bahaya Terselubung (2)

Bismillah...
Inilah bagian keduanya sobat.
Tentang judulnya neh, perlu sobat semua ketahui, yang ini merupakan analisis,
bahwa, e-KTP ini bakal jadi “mata-mata” sang pemiliknya. Yang berarti juga bisa mengganggu privasi setiap individu. Meski dalam situs resminya, e-KTP.com, pemerintah menjamin keamanannya.
Orang-orang Indonesia yang mengelola teknologi e-KTP merupakan ahli dan jago di bidangnya,” gitu kata juru bicara Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek di Jakarta, Senin (7/11) lalu.
Eits, jangan salah sob, Indonesia itu padahal sistem IT-nya termasuk ketinggalan loh. Di luar negeri sana sudah jauh lebih canggih! Alias bukan suatu hil yang mustahal, dengan mudah sistem e-KTP itu jebol. Inget gak, dulu kasus jebolnya Wikileaks, yang sudah susah-susah dijaga data RHS-nya, tetep aja jebol dan ambyar kemana-mana. Pentagon aja, lembaga pertahanan Amerika Serikat yang konon terkenal canggih luar biasa, bisa jebol oleh hacker. Dan Indonesia pun sudah merasa aman?
Namun pemerintah punya alasan tambahan untuk meyakinkan. Kemendagri, sang pemilik proyek, mengklaim e-KTP Indonesia gak bakal dapat ditembus serta disalahgunakan. Keyakinan itu mereka wujudkan dengan melibatkan bantuan dari 15 lembaga seperti BIN, BPPT, ITB, dan Lembaga Sandi Negara.
Terus muncul neh pertanyaan, bagaimanakah jika penyalahgunaan data e-KTP itu jsutru dilakukan negara?
Ada lagi isu yang mungkin belum menjadi concern publik dalam kaitan dengan e-KTP adalah keterlibatan L-1 Identity Solutions sebagai penyuplai perangkat perekam sidik jari atau AFIS (Automated Fingerprint Identification System) dalam proyek e-KTP di Indonesia.
Dugaan adanya kolusi dan korupsi dalam tender pengadaan e-KTP pernah dilaporkan secara khusus oleh sebuah media nasional, bahwa pemenang tender sudah dirancang sedari awal. Sejumlah rapat, yang dihadiri pihak penawar (yang kemudian menjadi pemenang), sejumlah vendor (termasuk perwakilan L-1), dan pemilik tender (pemerintah) terjadi jauh sebelum pemenang tender diumumkan. Nah loh?
Terkait dengan semua itu, ada baiknya kita bahas L-1 dalam proyek ini, pada postingan yang lain.
Nah terus bahanya nih, ada beberapa indikasinya :
Pertama, adanya upaya untuk secara internasional berbagi data biometrik, wa bil khusus Amerika Serikat, dedengkot kapitalisme yang sedang “mpot-mpotan” ekonominya.
Salah satu buktinya ada pada kesaksian di hadapan Subkomite Keamanan Dalam Negeri DPR AS pada 2009, Kathleen Kraninger (Deputi Asisten Menteri untuk Kebijakan) dan Robert A Mocny (Direktorat Perlindungan Nasional US-VISIT) menyatakan sebagai berikut:
Untuk memastikan bahwa kita mampu menghancurkan jaringan teroris sebelum mereka sampai ke Amerika Serikat, kita harus berada di depan dalam mengendalikan standar biometrik internasional. Dengan mengembangkan sistem yang kompatibel, kita akan mampu berbagi informasi teroris internasional dengan aman demi memperkuat pertahanan kita.”
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh S Magnuson pada 2009 pada majalah “National Defense”, berjudul “Defense Department Under Pressure to Share Biometric Data”, pemerintah AS mengklaim telah memiliki kesepakatan bilateral dengan sekitar 25 negara untuk berbagi data biometrik.
Setiap kali pemimpin negara lain mengunjungi Washington dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Luar Negeri akan memastikan bahwa mereka menandatangani kesepakatan (berbagi data biometrik) tersebut.”
Washington tampaknya tak hanya menempuh cara formal. Seperti pernah diungkap dalam kabel diplomatik AS—yang dibocorkan Wikileaks—Kementerian Luar Negeri AS menginstruksikan diplomat AS untuk secara rahasia mengumpulkan identifikasi biometrik para diplomat negara lain.
FBI tak ketinggalan. Seraya mengklaim ingin membuat “dunia lebih aman”, FBI mendesak inisiatif berbagi data biometrik di antara negara-negara. Nah loh?!
Kedua, lemahnya undang-undang terkait pengamanan database kependudukan, terutama jika memperhatikan upaya berbagi data dengan negara lain.
UU No : 23 / 2006 tentang Administrasi Kependudukan sangat minim mengatur isu perlindungan dan keamanan data. Isu berbagi data dengan negara lain sama sekali tak diatur. Bahkan, UU tersebut ‘memberi’ celah bagi pemegang kekuasaan untuk “mengubah”, “meralat”, dan “menghapus” tanpa sepengetahuan sang pemilik data, warga negara itu sendiri. Ini rentan bagi upaya manipulasi data demi kepentingan tertentu.
Aturan turunannya lebih buruk lagi. PP 37/2007 membuka peluang bagi siapa pun, termasuk pihak swasta, untuk memperoleh dan menggunakan database kependudukan dengan syarat yang ringan: izin menteri. Di sini lagi-lagi, hak konstitusional warga negara untuk dilindungi privasinya bakal terganggu. Tak ada satu klausul pun dalam peraturan itu yang mewajibkan adanya pengetahuan si pemilik data.
Tekanan negara Paman Sam terhadap Indonesia untuk berbagi data biometrik sangat mungkin terjadi. Apalagi mantra “perang melawan teroris” masih terlampau sakti bagi sebagian besar pejabat Indonesia yang tak punya nyali. Terlebih kata ‘berbagi’ kerap tak berlaku timbali balik, alias sepihak demi keuntungan negara yang lebih kuat.
Menjual privasi demi keamanan negara (aman dari teroris, katanya) mungkin bisa dianggap sikap patriotis seorang warga negara. Namun, seperti dikatakan salah seorang “founding father” AS, Benjamin Franklin:
People willing to trade their freedom for temporary security deserve neither and will lose both” (orang ingin menjual kebebasannya dengan keamanan yang sementara justru tidak akan mendapatkan semua dan kehilangan keduanya).
Itulah sobat, bahayanya. Sebenarnya masih ada lagi latar belakang pembuatan e-KTP ini yang cukup menarik termasuk kaitannya dengan program Yahudi untuk menguasai dunia. Insya Allah akan saya posting juga di lain kesempatan.
Wallahu a'lam bishawab
Sumber : voi-islam,e-ktp.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar